Bandar Lampung — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Bandar Lampung resmi melaksanakan serah terima jabatan Direktur periode 2025–2029 pada Kamis (27/11/2025).
Acara yang berlangsung di Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) Provinsi Lampung tersebut menandai peralihan kepemimpinan dengan tema “34 Tahun Bantuan Hukum Struktural: Melawan Ketidakadilan Struktural, Memperkuat Gerakan Rakyat.”
Prosesi serah terima berlangsung secara khidmat dan disaksikan oleh Ketua Umum, Yoga Hai Muhammad Gus Nur, jajaran alumni, masyarakat dampingan, jaringan organisasi masyarakat sipil, serta rekan-rekan media.
Direktur Baru: “Mandat Ini untuk Memperkuat Perlawanan atas Ketidakadilan Struktural”
Dalam sambutannya, Direktur YLBH Bandar Lampung terpilih, Bowo, mengungkapkan bahwa pelantikan ini bukan sekadar simbolis, melainkan peneguhan mandat untuk memperkuat perjuangan bantuan hukum struktural di tengah situasi demokrasi yang dinilai semakin merosot.
“Pelantikan hari ini sudah disahkan langsung oleh Ketua Umum dan disaksikan publik yang selama ini mengawal kerja-kerja kami. Saya juga telah disumpah dan menerima SK untuk menjalankan mandat sebagai Direktur YLBH periode 2025–2029,” ujar Bowo.
Menurut Bowo, selama setahun terakhir YLBH menangani sekitar 60 kasus, dengan ragam tipologi yang cukup luas.
Mulai dari persoalan ekonomi seperti kredit, utang-piutang, hingga kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), konflik agraria, kekerasan, serta aduan terkait Undang-Undang ITE dan dugaan kekerasan oleh aparat.
Mayoritas kasus yang ditangani merupakan kasus berbasis struktural, yakni permasalahan yang melibatkan negara, pemerintah, atau pihak swasta berkekuatan ekonomi besar.
“Sebagian kasus sudah selesai melalui konsultasi atau mediasi. Namun mayoritas adalah kasus menahun yang masih berjalan hingga hari ini, termasuk yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya,” jelasnya.
Bowo menegaskan bahwa visi-misi kepemimpinan YLBH tidak terlepas dari kondisi negara saat ini.
Menurut analisis lembaga, terdapat kemunduran signifikan dalam demokrasi, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
“Kasus-kasus yang kami tangani adalah cerminan dari kebijakan pusat yang tidak pro terhadap rakyat.
Mulai dari penyempitan ruang demokrasi, ancaman terhadap kebebasan pers, kriminalisasi pejuang agraria, hingga perampasan ruang hidup,” paparnya.
Ia juga mengkritik semakin kuatnya peran aparat dan militer dalam ruang sipil, terutama setelah disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai mengancam hak-hak warga.
“Ke depan, kerja kita akan lebih ekstra mengingat potensi konflik terus meningkat. Negara semakin otoriter, dan itu membuat pendampingan hukum terhadap masyarakat kecil semakin penting,” tegasnya.(Yuli)
